More than just Travel. But also Cultures, Friendship, and Experiences

Monday 13 April 2015

Menembus Dinginnya Puncak Garuda

"Ketinggian dan kabut selalu saja bercerita tentang keindahan dari sisi lain” (Widha. K)

Tak ada tempat untuk berlari dari kejenuhan yang melanda pikiran selain ketinggian dan kabut. Mereka dua sejoli yang takkan terpisahkan. Saat orang - orang di sekeliling kota Jogja mulai bersiap untuk merajut mimpi malam, roda motor ini terus melaju kencang ke arah kaki Gunung Merapi. New Selo adalah tempat untuk memulai pertualangan ini

Sunrise Gunung Merapi
Tengah malam, saat berganti hari, kaki ini mulai melangkah menapaki setapak berpasir. Kabut pun memudarkan cahaya dari lampu senter yang mencoba menerangi jalan, seakan – akan ingin memeluk. Terus berjalan menyusuri gelapnya malam dan rimbunnya pepohonan. Haus terasa hingga pangkal tenggorokan yang memaksa ratusan mililiter air mengalir di dalamnya. Sesekali nafas ini pun harus bekerja lebih santai agar tak terlihat seperti orang berlarian. Satu demi satu pos, mulai dari batas ladang hingga Selokopo bawah pun terlewatkan. Punggung agaknya lelah memikul tas, hingga akhirnya merebahkan tubuh untuk melepas lelah sejenak.

Puncak Gunung Merapi
Entah, ego atau puncaklah yang akan ditaklukan. Tetapi, ketinggian dan kabut pasti selalu punya cerita yang indah selepas pulang. Kaki kembali menerjang dingginnya malam menuju Selokopo atas yang hanya dilalui sekitar satu jam perjalanan. Sekilas tampak tenda berdiri atau pun orang memakai sleeping bed di antara bebatuan. Di Selokopo atas juga terlihat begitu jelas cahaya bulan yang memancarkan sinarnya, menunjukkan bahwa di depan adalah Pasar Bubrah. Pikiran mulai menerka, sebegitu dekatkah antara Selokopo atas dan Pasar Bubrah? Ternyata itu seperti fatamorgana agar kaki ini terus berjalan menuju ke sana. Satu jam melewati bebatuan dan pasir yang berdebu. Akhirnya cahaya bulan membawa kaki ini ke Pasar Bubrah.

Salah Satu Tebing Gunung Merapi
Ratusan tenda yang berdiri terhampar di Pasar Bubrah. Tetapi, kaki terus melangkah dan kepala kian menengadah ke atas. Tiba-tiba terdengar celoteh sahabat “Kalo hampir 90 derajat sepertinya aku nggak sanggup. Lihat, tebing dan bebatuannya kalo seandainya terjatuh. Semampunya saja ya…”.

Gunung Merbabu yang setia mendapingi Gunung Merapi
Butuh lapisan tekad yang kuat untuk berjalan di pasir dan menaiki bebatuan dari Pasar Bubrah menuju puncak Garuda. Mata ini hampir saja meneteskan airmata karena ingin menyerah. Dingin pun tak lagi bisa dirasakan karena bercampur dengan keringat yang mengucur di seluruh tubuh. Ketika merayap diantara tebing bebatuan, badan mencoba membalikkan arah yang ternyata semburat merah sudah akan menampakkan diri. Tak jauh lagi perjalanan ini, pasti bisa sampai puncak Garuda. Dua jam lebih melawan hempasan angin, pasir, dan bebatuan hingga akhirnya di ketinggian 2968 Mdpl dapat melihat indahnya mahakarya Tuhan. Lautan awan yang membentang luas begitu memukau pandangan mata dan semburat merah matahari terbit yang akan menghangatkan tubuh. Serta gagahnya Gunung Merbabu yang setia mendampingi Gunung Merapi yang tak luput dari fokus kamera. Terima kasih ketinggian dan kabut, telah menunjukkan secuil keindahan di atas sana.

Penulis: Widha Kumalasari
Blog : widhaks.blogspot.com
Facebook: Widha Kumalasari
Instagram: @widhakumalasari

0 comments:

Post a Comment

We Are Backpacker Semarang

We Are Backpacker Semarang
Komunitas Backpacker Semarang merupakan sebuah komunitas travelling yang ada di kota Semarang.

Yang Sering Dibaca

Instagram @bpisemarang