Tak ada tempat
untuk berlari dari kejenuhan yang melanda pikiran selain ketinggian dan kabut.
Mereka dua sejoli yang takkan terpisahkan. Saat orang - orang di sekeliling
kota Jogja mulai bersiap untuk merajut mimpi malam, roda motor ini terus melaju
kencang ke arah kaki Gunung Merapi. New Selo adalah tempat untuk memulai
pertualangan ini
Sunrise Gunung Merapi |
Tengah malam,
saat berganti hari, kaki ini mulai melangkah menapaki setapak berpasir. Kabut
pun memudarkan cahaya dari lampu senter yang mencoba menerangi jalan, seakan –
akan ingin memeluk. Terus berjalan menyusuri gelapnya malam dan rimbunnya
pepohonan. Haus terasa hingga pangkal tenggorokan yang memaksa ratusan mililiter
air mengalir di dalamnya. Sesekali nafas ini pun harus bekerja lebih santai
agar tak terlihat seperti orang berlarian. Satu demi satu pos, mulai dari batas
ladang hingga Selokopo bawah pun terlewatkan. Punggung agaknya lelah memikul
tas, hingga akhirnya merebahkan tubuh untuk melepas lelah sejenak.
Entah, ego atau
puncaklah yang akan ditaklukan. Tetapi, ketinggian dan kabut pasti selalu punya
cerita yang indah selepas pulang. Kaki kembali menerjang dingginnya malam
menuju Selokopo atas yang hanya dilalui sekitar satu jam perjalanan. Sekilas
tampak tenda berdiri atau pun orang memakai sleeping
bed di antara bebatuan. Di Selokopo atas juga terlihat begitu jelas cahaya
bulan yang memancarkan sinarnya, menunjukkan bahwa di depan adalah Pasar
Bubrah. Pikiran mulai menerka, sebegitu dekatkah antara Selokopo atas dan Pasar
Bubrah? Ternyata itu seperti fatamorgana agar kaki ini terus berjalan menuju ke
sana. Satu jam melewati bebatuan dan pasir yang berdebu. Akhirnya cahaya bulan
membawa kaki ini ke Pasar Bubrah.
Ratusan tenda
yang berdiri terhampar di Pasar Bubrah. Tetapi, kaki terus melangkah dan kepala
kian menengadah ke atas. Tiba-tiba terdengar celoteh sahabat “Kalo hampir 90 derajat sepertinya aku nggak sanggup. Lihat,
tebing dan bebatuannya kalo seandainya terjatuh. Semampunya saja ya…”.
Butuh lapisan
tekad yang kuat untuk berjalan di pasir dan menaiki bebatuan dari Pasar Bubrah
menuju puncak Garuda. Mata ini hampir saja meneteskan airmata karena ingin
menyerah. Dingin pun tak lagi bisa dirasakan karena bercampur dengan keringat
yang mengucur di seluruh tubuh. Ketika merayap diantara tebing bebatuan, badan
mencoba membalikkan arah yang ternyata semburat merah sudah akan menampakkan
diri. Tak jauh lagi perjalanan ini, pasti bisa sampai puncak Garuda. Dua jam
lebih melawan hempasan angin, pasir, dan bebatuan hingga akhirnya di ketinggian
2968 Mdpl dapat melihat indahnya mahakarya Tuhan. Lautan awan yang membentang
luas begitu memukau pandangan mata dan semburat merah matahari terbit yang akan
menghangatkan tubuh. Serta gagahnya Gunung Merbabu yang setia mendampingi
Gunung Merapi yang tak luput dari fokus kamera. Terima kasih ketinggian dan
kabut, telah menunjukkan secuil keindahan di atas sana.
Facebook: Widha Kumalasari
Instagram: @widhakumalasari
0 comments:
Post a Comment