"Dieng berasal
dari kata Dhi-Hyang atau
dihyang dalam bahasa Sansekerta,
yang berarti
tanah para dewa. Membuat tempat ini menjadi tempat yang begitu istimewa di era
kerajaan Mataram
Hindu. Orang-orang dahulu percaya bahwa penduduk di daerah tersebut adalah
titisan para dewa. Khususnya bagi
mereka yang memiliki rambut gembel.”
Kabut mulai turun menemani senja yang berlalu. Malam merambat dengan dingin yang semakin menggenggam tulang. Bersembunyi di balik selimut yang tebal sambil bercengkrama menikmati segelas jahe hangat tentu nyaman sekali. Tapi tidak untuk malam ini, malam yang makin larut justru membawa kami semakin menggebu menikmati alunan musik jazz di tengah suhu hampir 5°C. Berbekal jaket gunung merk KW, sarung tangan seadanya, kupluk dapat pinjem dari adik dan kaki beralas sandal gunung khas backpacker. Sudjiwo Tedjo melantunkan lagu diacara Jazz Atas Awan yang membuat kami semua mengabaikan udara dingin. Ya, malam itu presiden Republik Jancukers itu memberikan 5 lagunya jelang tengah malam usai di dapuk menjadi pengisi acara pada Dieng Culture Festival 2015 yang dibuka sore tadi. Acara semakin meriah saat Bimbim Slank berada di tengah – tengah kami bersama menikmati Jazz Atas Awan.
Kabut mulai turun menemani senja yang berlalu. Malam merambat dengan dingin yang semakin menggenggam tulang. Bersembunyi di balik selimut yang tebal sambil bercengkrama menikmati segelas jahe hangat tentu nyaman sekali. Tapi tidak untuk malam ini, malam yang makin larut justru membawa kami semakin menggebu menikmati alunan musik jazz di tengah suhu hampir 5°C. Berbekal jaket gunung merk KW, sarung tangan seadanya, kupluk dapat pinjem dari adik dan kaki beralas sandal gunung khas backpacker. Sudjiwo Tedjo melantunkan lagu diacara Jazz Atas Awan yang membuat kami semua mengabaikan udara dingin. Ya, malam itu presiden Republik Jancukers itu memberikan 5 lagunya jelang tengah malam usai di dapuk menjadi pengisi acara pada Dieng Culture Festival 2015 yang dibuka sore tadi. Acara semakin meriah saat Bimbim Slank berada di tengah – tengah kami bersama menikmati Jazz Atas Awan.
Pemotongan Rambut Gembel oleh Bupati Banjarnegara (photo by Dudud Adja) |
Langit berbalut bulan biru mengiring
kami kembali ke penginapan saat jarum jam menunjuk angka 02.30 dan jalanan
masih begitu ramai. Beberapa pelancong dan pendaki gunung yang hendak berburu golden sunrise menerobos angin gunung.
Kami putuskan untuk tetap istirahat, perjalanan dari Semarang mengendarai sepeda montor
itu cukup melelahkan. Esok pun serangkaian acara masih menunggu untuk kami
abadikan dalam jepretan lensa.
Pemotongan Rambut Gembel oleh Sudjiwotedjo (photo by Dudud Adja) |
Mentari pagi rasanya tak sabar
menyambut kemeriahan Dieng Culture Festival 2015 (daku singkat saja menjadi DCF
2015, capek ngetiknya). Enggan rasanya bangkit dari peraduan tapi pengeras
suara di komplek Candi Arjuna sudah memanggil para peserta DCF 2015 untuk turut
serta dalam jalan sehat besama bapak Bupati Banjarnegara. Kami bergegas menuju
kompleks Candi Arjuna dan disana sudah disediakan purwoceng. Inilah minuman legendaris khas Dieng yang konon katanya
bisa meningkatkan vitalitas pria. Hemat ku sih rasanya mirip wedang jahe dengan
perpaduan rempah yang kental. Khasiatnya? Jangan ditanyakan lagi, yang awalnya
masih menggantuk langsung merasa bersemangat.
Kesenian Jathilan |
Selanjutnya kami disuguhi pertunjukan
budaya tari jatilan. Bersyukur kami bertemu dengan teman dari komunitas
fotografi yang kebetulan menjadi panitia acara. Hingga kami mendapat kesempatan
untuk lebih dekat dengan para penari. Hentakan kaki para penari, gemerincing
gelang kaki dan cetaran pecut pemimpin tari begitu kuat kami rasakan.
Dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kulit yang begitu kental dengan dongeng –
dongeng khas para dewa. Panggilan alam dari perut yang mulai keroncongan
membawa kami keluar. Namun kemeriahan tidak berhenti sampai di situ. Menuju
pintu keluar kami disuguhi dengan pertunjukan kuda lumping lengkap dengan
adegan kesurupan dan makan belingnya. Dan hari ini aku merasakan how wonderfull my Indonesia. Ini baru di
Dieng lho guys, belum di kota lain di provinsi lain dan di pulau lain.
Pertunjukan Wayang Kulit |
Sengaja membeli tiket seharga 200 ribu
ternyata tidak sia – sia karena kami mendapatkan goody bag, kaos kece DCF 2015, selendang batik, buku acara dan tiket
free pass sepanjang acara. Kami tidak
membiarkan tiket free pass kami
mubazir begitu saja, sembari menunggu pesta lampion dan kembang api kami jalan – jalan ke Kawah Sikidang dan Telaga Warna sengaja untuk
bernarsis ria. Disuguhi exotic-nya Dieng Plateu dengan semilir angin gunung yang bukan hanya sejuk
tapi dingin. Benar adanya ketika kita menikmati suasana waktu berputar begitu
cepat. Tiba waktu kami menikmati indahnya malam dengan keceriaan pesta kembang
api dan penerbangan lampion. Dan ternyata lebih penting narsis ketimbang
menyalakan lampion. Sebal rasanya karena dimoment yang seru ini justru aku
tidak bisa mengabadikannya. Kamera tercinta mengembun akibat perubahan suhu
yang drastis, poor of me.
Kami sengaja tidak mendirikan tenda meski dari tiket kami dapat jatah satu petak area di Candi Arjuna untuk mendirikan tenda. Didalam ruangan tertutup saja dingin nya bukan main apalagi di tenda. Kami juga ingat usia yang sudah uzur, jadi ketimbang cari penyakit kami cari aman. Keberangkatan ke Dieng kali ini bersama dua orang teman yang sama sekali belum pernah ke Dieng. Alhasil seorang teman dengan manjanya minta diantar ke Sikunir untuk sekedar memotret sunrise. Sudah kuduga pasti macet, kami berangkat pukul 03.00 WID (waktu Indonesia bagian Dieng) masih 2 km dari parkir utama Sikunir kami sudah terhenti. Kami harus parkir jauh di pintu masuk desa dan berjalan kurang lebih 1 km lagi. Perjuangan belum usai, pendakian Sikunir yang biasanya bisa ditempuh dalam 15 menit harus kami tempuh dalam waktu hampir 1 jam. Membludaknya pengunjung membuat trekking saja kena traffic jam. Dan harus puas ketika hanya bisa mengabadikan sunrise di spot “sekenanya”. Kondisi dan posisi membuat kami tak dapat memilih dimana kami harus mengembangkan tripot dan memuaskan hasrat menekan shutter.
Kami sengaja tidak mendirikan tenda meski dari tiket kami dapat jatah satu petak area di Candi Arjuna untuk mendirikan tenda. Didalam ruangan tertutup saja dingin nya bukan main apalagi di tenda. Kami juga ingat usia yang sudah uzur, jadi ketimbang cari penyakit kami cari aman. Keberangkatan ke Dieng kali ini bersama dua orang teman yang sama sekali belum pernah ke Dieng. Alhasil seorang teman dengan manjanya minta diantar ke Sikunir untuk sekedar memotret sunrise. Sudah kuduga pasti macet, kami berangkat pukul 03.00 WID (waktu Indonesia bagian Dieng) masih 2 km dari parkir utama Sikunir kami sudah terhenti. Kami harus parkir jauh di pintu masuk desa dan berjalan kurang lebih 1 km lagi. Perjuangan belum usai, pendakian Sikunir yang biasanya bisa ditempuh dalam 15 menit harus kami tempuh dalam waktu hampir 1 jam. Membludaknya pengunjung membuat trekking saja kena traffic jam. Dan harus puas ketika hanya bisa mengabadikan sunrise di spot “sekenanya”. Kondisi dan posisi membuat kami tak dapat memilih dimana kami harus mengembangkan tripot dan memuaskan hasrat menekan shutter.
Pelepasan Lampion (Photo by Palasara Wisanggeni) |
Berburu waktu, setelah merasa puas dan
cukup rehat sejenak di warung kopi di kaki bukit kami memutuskan segera kembali
untuk mengikuti prosesi pemotongan rambut gembel. Tentunya dengan kesepakatan
bahwa dilain waktu kami akan mendapatkan golden sunrise direkaman lensa kami masing – masing.
Ritual pemotongan rambut gembel ini dimulai dengan kirap budaya yang dimulai
dari rumah pemangku adat dan berakhir di pelataran candi Arjuna. Dilanjutkan
dengan prosesi jamasan dimana para anak bajang (anak berambut gembel sering di
sebut ) dan berbagai sesaji dan ubo rampe
ritual di doakan terlebih dahulu. Usai jamasan masuklah dalam prosesi
pemotongan rambut gembel. Tahun ini ada 10 anak yang dilakukan pemotongan
rambut gembel.
Kembang Api dan Lampion (Photo by Palasara Wisanggeni) |
Anak – anak bajang ini menurut
kepercayaan warga Dieng merupaka titisan dari Eyang Agung Kaladate dan Nini
Ronce yang merupakan Dewa Pelindung
dataran tinggi Dieng. Konon kabarnya jika rambut anak – anak bajang ini dipotong
dengan sembarangan anak tersebut akan jatuh sakit dan tidak kunjung sembuh
serta mendatangakan musibah bagi keluarga bahkan masyarakat Dieng. Sumber lain
ada yang menyampaikan bahwa tanpa ritual maka tidak ada gunting atau pisau yang
bisa memotong rambut tersebut. Biasanya anak bajang akan meminta sendiri kapan
waktu untuk memotong rambut gembelnya
disertai dengan beberapa permintaan yang harus dikabulkan oleh orang tuanya.
Tidak jarang untuk mengabulkan permintaan si anak keluarga, tetangga dan warga
sekitar rela mengumpulkan uang bersama.
Sunrise Bukit Sikunir |
Keunikan yang kami dapati dari salah
satu anak bajang bernama Fitria dari desa Batur Banjarnegara, ia meminta 1 ekor
gereh pindang (pindang ikan asin), 1
buah tahu dan segenggam nasi putih dicampur dan diratakan di rambut gembelnya
sebelum rambut itu di potong. Sementara anak – anak lain ada yang meminta emas
(gelang dan kalung), kambing, sepeda bahkan ada yang meminta satu keranjang
apel yang ada didalam kulkas. Rambut anak bajang ini dipotong secara bergantian
oleh jajaran struktural Pemkab Banjarnegara. Kehormatan khusus diberikan kepada Soedjiwo Tedjo
untuk memotong rambut salah satu anak bajang. Suasana hikmad tiba – tiba menjadi
riuh karena bukannya senang si anak malah menangis kencang sambil memanggil
ibunya. Rupanya anak ini takut dengan dandanan nyentrik Sang Presiden Republik Jancukers ini.
Para Pemburu Sunrise (photo by Dudud Adja) |
Prosesi dilanjutkan dengan melarung
rambut anak – anak bajang ke Telaga Warna yang merupakan sumber mata air dari sungai Serayu yang mengalir
menjadi satu dengan sungai – sungai di Pulau Jawa dan akan bermuara di Laut Jawa. Warga
Dieng percaya bahwa dengan demikian seluruh tanah Jawa akan terberkati. Benar
atau tidaknya who knows, tapi itulah
tradisi. Mungkin info yang di update
ada dua versi
pemotongan rambut gembel, yang berpusat di Candi Arjuna dan di Telaga Cebong
Desa Sembungan. Secara pasti aku tidak tahu bedanya, namun dari info terpercaya
bahwa pelaksanaan di Candi Arjuna merupakan event
dari Kabupaten Banjarnegara. Desa Sembungan adalah event dari kabupaten Wonosobo, prosesinya di bedakan karena menurut
perhitungan tetua masyarakat Dieng hari pelaksanaan prosesi dikedua kabupaten
tersebut berbeda.
Aku dan Candi Arjuna |
Find of DCF 2015, rasanya tiga hari itu cepat sekali.
Saatnya kembali ke kehidupan nyata, kehidupan manusia yang penuh dengan
perjuangan. Berat mengucapkan perpisahan dengan tanah para dewa, negeri di atas
awan. Bahkan sampai aku selesai menulis catper ini sudah dua minggu lamanya,
masih ada rasa yang kuat tentang budaya, ramah tamah warga, angin gunung, suhu
dingin hingga keindahan negeri di atas awan yang mempesona.
Penulis: Amalia Cahya
Twitter: @nerschay
Instagram: @ners_chay
Penulis: Amalia Cahya
Twitter: @nerschay
Instagram: @ners_chay